Senin, 02 Desember 2019

Cerpen: Fuyu ga Kirai


Fuyu ga Kirai
Oleh Andika N R
“Untuk Haru, lama kita tak bertukar kabar, meski rindu dengan Indonesia. Aku suka dengan musim gugur di Tokyo, daun-daun berguguran dan cuaca yang sejuk. Terakhir kita bertemu saat upacara Kelulusan SD, sudah tiga tahun berlalu. Haru, kau masih ingat aku kan?” “Untuk Haru, terimakasih sudah membalas suratku kukira kau sudah melupakanku. Hari ini Tokyo sudah masuk musim dingin, ini sudah kesekian kalinya aku merasakan dinginnya salju yang begitu halus. Ingin rasannya menikmati musim dingin ini bersamamu” Surat yang dia buat mengingatkanku pada masa lalu yang kulalui dengan dia. Aku dan Keiko punya banyak kesamaan. Setahun setelah dia pindah ke Indonesia, Keiko masuk kelas yang sama denganku. Kita berdua memiliki hobi yang sama yaitu membaca jadi kami lebih suka membaca bersama di kelas atau perpustakaan itu sebabnya kami menjadi teman baik. Teman sekelas pun sering menggoda kami karena kami sering menghabiskan waktu bersama, tapi kami tidak peduli akan hal itu karena persahabatan kami. “Aku ingin masuk SMP yang sama denganmu dan bersamamu selamanya” itu yang dia ucapkan ketika hari kelulusan sekolah kami sebelum dia pindah ke Tokyo.
“Untuk Haru, dari surat yang kubaca kau berencana untuk melanjutkan pendidikanmu di Tokyo. Senangnya, apa kau sudah bisa berbahasa Jepang, aku harap belum karena aku ingin mengajari bahasa Jepang. Kutunggu kau di Tokyo” Senang rasanya kehadiran ku dinantikan olehnya. Hari ini, adalah hari pertama aku duduk di kelas satu SMA. Aku serius dengan apa yang kukatakan bahwa aku ingin melanjutkan pendidikan di Tokyo, alasan utamaku adalah untuk bertemu Keiko. “Haru” terdengar suara memanggil dari belakang. “Oh Naoko, ada apa?” ucapku “Ayo pulang bersama” balasnya. Aku dan Naoko sudah berteman sejak pertama kali di SMA, wajahnya yang mungil dan senyumnya yang manis membuat dia terkenal di SMA. “Haru, apa kau memiliki kekasih?” ucapnya “Hmm sepertinya tidak mungkin” balasku “lalu bagaimana jika ada seseorang yang menyukaimu?” Naoko kembali bertanya. Aku hanya terdiam saat Naoko menanyakan itu, seketika aku teringat dengan Keiko. Aku hanya bisa berharap bahwa orang yang menyukaiku adalah Keiko. “Seperti aku misalnya” Naoko melanjutkan pembicaraannya “Hmm maksudmu?” ucapku “Bukan apa-apa” balasnya.
“Rumahku sudah di depan, aku duluan ya” Naoko berlari sambil melambaikan tangan kepadaku dan membuka gerbang rumahnya. Hari berikutnya aku dan Naoko pulang bersama lagi, berbeda pada hari sebelumnya, hari ini Naoko terlihat tidak semangat. Aku dan Naoko hampir tidak berbicara sama sekali ketika pulang bersama. Esoknya aku mendapatkan kabar baik, ayahku yang seorang pengusaha mendapat klien dari Tokyo, aku teringat Keiko dan langsung membujuk ayahku agar dapat ikut bersama ayahku. “Untuk Haru, tanggal 5 maret nanti baik sekali kau mau datang ke tempatku, tetapi aku punya berita buruk, yaitu aku sudah tidak tinggal di Tokyo, aku sudah pindah ke kota Fukushima, kau bisa menaiki Shinkansen, tapi jauh jadi hati-hati ya. Aku sudah tidak sabar ingin menemuimu. Kalo begitu kutunggu jam 3 di stasiun Fukushima”
Salju turun sejak pertama kali aku mendarat di Tokyo. Aku dan Ayahku beserta rekan kerjanya bergegas pergi menuju hotel yang sudah dipesan. Sebelum pergi ke Tokyo aku sudah mencari tahu cara menuju ke tempat Keiko butuh 2 jam untuk sampai Fukushima dari Tokyo, tapi pada hari pertemuanku dengan Keiko salju turun sangat lebat sejak pagi tadi, aku memutuskan untuk pergi pada jam 12 siang, sempat ayahku melarang untuk pergi ke Fukushima tetapi aku menghiraukannya. Sudah 5 jam aku di perjalanan, kereta mengalami banyak keterlambatan dan penundaan dikarenakan hujan salju yang semakin lebat. Aku tidak bisa bisa melakukan apa-apa. “Sudah jam 5, tak apa Keiko, kau boleh meninggalkanku” ucap hatiku. Setelah 7 jam perjalanan akhirnya aku tiba di stasiun Fukushima pada jam 7 malam, terlihat dari jauh seorang gadis sedang duduk sekitar perapian, aku menghampirinya. “Keiko” dia menoleh ke arahku, “HARU!” dia memelukku dengan erat sambil mengeluarkan air mata. Kami pergi ke rumahnya dan mengobrol semalaman, disaat itu aku mengatakan cintaku kepada Keiko “Aku juga mencentiamu sampai kapanpun” itu yang dia ucapkan, mungkin malam itu adalah malam yang paling indah walau diselimuti dingin dan salju. Dua hari kemudian aku kembali ke Indonesia. Berat rasanya melangkahkan kaki meninggalkan Keiko, dia mengantar kepergianku di bandara.
Sudah dua tahun sejak kejadian itu, saat ini aku sudah kelas tiga SMA, sebentar lagi aku menghadapi kelulusan. “Haru, bisa bicara sebentar” ucap Naoko. “Kau ingat pertanyaanku saat kita kelas satu? Sebenarnya aku.. menyukaimu semenjak pertama kali kita bertemu, apa kau mau menjadi kekasihku?” “Haaa? Kau serius? Tapi aku sudah memiliki kekasih” ucapku “Hahahaha tentu saja aku bercanda. Kalo begitu aku pulang duluan ya” Naoko langsung berbalik dan jalan menuju rumahnya. Esoknya Naoko terlihat murung dengan mata sembab. “Naoko apa kau baik-baik saja?” tanyaku “tidak apa-apa, aku hanya kurang tidur saat malam” setelah menjawabku dia langsung pergi keluar kelas, dia terlihat seperti menghindariku. Sejak saat itu aku tersadar bahwa apa yang diucapkan Naoko bukanlah candaan, sudah terlambat untuk meminta maaf, hari kelulusan sudah tiba dan Naoko tidak hadir dalam upacara kelulusan.
Temanku selalu bertanya “apa kau menulis email untuk kekasihmu?” tetapi aku hanya bisa tersenyum dan tersadar sudah berapa lama aku hobi menulis email tanpa tujuan pengirimnya. Aku sudah tidak dapat kabar lagi dari Keiko. Setelah berhasil untuk masuk Universitas di Tokyo dan mencoba untuk mencari kabar Keiko, tanpa sadar 2 tahun semenjak tinggal di Tokyo sudah kulewati. Saat itu aku mendapat surat dari Keiko, yang kudapat adalah kabar bahwa dia sudah bertunangan. Aku hanya menjalani hidup, tetapi kesedihan terus menghampiri. “Aku juga mencintaimu sampaik kapanpun” itu yang dia ucapkan saat pertemuaan kita di Fukushima. Tapi, meski kita telah bersama cukup lama, mungkin hati kita hanya mendekat 5 cm. Makin hari hatiku makin sakit, sampai suatu hari aku tersadar bahwa aku sudah tak berarti baginya. Kemarin aku berimimpi tentang masa lalu, duduk bersama di teras rumahnya, diselimuti dingin dan melihat salju berturunan. Di dalam mimpi itu kita masih 16 tahun, kita berpikir tentang satu hal. Lain kali kita akan melihat salju bersama lagi, aku dan dia, tanpa keraguan berpikir demikian.