The Other Kid
Oleh Andika N R
“Prang” terdengar suara pecahan kaca terjatuh ke
lantai, aku terbangun dari tidurku dan segera berjalan ke arah suara pecahan
kaca. Setiap langkahku ditemani dengan suara decitan lantai kayu yang terdengar
seperti rumah tua “krak, krak” suara decitan itu mulai menhilang saat aku
menuruni tangga, dari arah dapur aku mendengar suara orang tuaku yang sedang
bertengkar. Aku merangkak ke arah bawah meja makan dengan perlahan karena aku
takut terlihat oleh orang tuaku. Aku hanya bisa melihat mereka dan tidak bisa
melakukan apapun. Semakin lama pertengkaran mereka semakin hebat, aku melihat
ayahku beberapa kali memukul ibuku hingga berdarah, ibuku hanya bisa menahan
pukulan itu dan memohon agar berhenti memukulinya. Ayahku terus memukuli ibuku
sampai-sampai dia berteriak minta tolong tapi semakin keras teriakan ibuku maka
semakin keras pukulan ayahku. “Aku bilang diam! Atau tidak akan kubunuh kau”.
Ibuku merangkak kearah meja makan dan secara tidak sengaja dia melihatku
dibawah meja makan itu. Wajahnya yang penuh luka dan darah, kelopak matanya
yang membiru akibat pukulan keras, dan matanya yang berkaca-kaca, dia hanya
melihatku dengan mata penuh kesedihan dan berkata sesuatu. Aku tidak mendegar
perkataan ibuku saat itu tetapi di bibirnya tergambar jelas apa yang dia
katakan “Aku mencintaimu” saat itu juga ayahku mengambil sebuah pisau dan
menggorok leher ibuku, darahnya terciprat kemana-mana bahkan sampai mengenai
wajahku, aku hanya bisa duduk terpaku dan melihat ibuku yang sudah tak bernyawa
dengan tatapan kosong.
Setelah kejadian itu, ayahku dihukum mati atas
tindakan kejinya lalu aku dibawa ke panti asuhan. Setiap dua bulan sekali ada
petugas medis yang memeriksaku, mereka selalu menanyakan siapa namaku dan siapa
teman terdekatku. “Siapa namamu?” “Raiyan” “Lalu, apakah kau sudah menemukan
teman terdekatmu di panti asuhan ini? Dan siapa namanya?” “Sudah, namanya
adalah Rama”. Rama adalah teman terbaikku selama di panti asuhan,
dia selalu bermain dan menemaniku semenjak aku berada di panti asuhan. Setelah
itu mereka mencatat hasil pemeriksaan dan pergi tanpa meninggalkan kata-kata.
Sudah cukup lama aku tinggal di panti asuhan, dan
akhirnya saat aku berumur 15 tahun ada keluarga yang mengadopsiku. “Mereka
orang tua baruku?” ucapku, “Ya, mereka adalah keluarga barumu” jawab salah satu
pengurus panti asuhan. Mereka menghampiriku dan langsung memelukku, mereka
berkata “Kau boleh memangilkan kami ayah dan ibu”. Rumah mereka sangat besar,
tetapi terlihat sangat sepi. Saat di panti asuhan, kudengar mereka tidak bisa
memiliki anak. Mereka membawaku kedalam dan ibuku menunjukkan dimana letak
kamarku “Ini kamarmu Raiyan, jika kamu butuh sesuatu aku ada di dapur” “Da..
dapur?” “Ya, dapurnya ada di sebelah sana”.
Saat malam tiba kami selalu menghabiskan waktu
bersama di ruang TV, kami baru beranjak dari tempat itu setelah pukul 10 malam.
Entah sudah berapa malam yang kulewati bersama mereka, bersama dan menonton
acara TV favorit kami. “Ayo Raiyan waktunya tidur” “Baik ayah”. Saat aku tidur
pertama kalinya aku mendengar suara bisikan “Bangun Raiyan, ayahmu akan
membunuhmu”. Bisikan itu selalu muncul saat aku tidur tetapi aku
menghiraukannya. “Bangun Raiyan, ayahmu akan membunuhmu” Sudah kesekian kalinya
aku mendengar bisikan itu saat tidur, “Siapa sebenarnya kau?” ucapku, tidak ada
jawaban sama sekali, saat aku kembali memjamkan mataku terdengar bisikan lagi “Aku
Rama” “Rama? Sedang apa kau disini?” “Aku merindukanmu” “Besok kita bisa main,
sekarang aku ingin tidur”. Esok paginya aku memberitahu orang tuaku, “Ayah Ibu,
kemarin malam aku bertemu dengan Rama” “Siapa Rama?” Tanya ayahku “Dia adalah
sahabatku saat aku di panti asuhan”, ayah dan ibuku terlihat kebingungan “Nak,
yang kami tahu jarak dari sini ke panti asuhan yaitu sekitar 40 km, bagaimana
bisa temanmu datang kemari dan mengetahui rumah ini, mungkin kau sedang
bermimpi” ucap ayahku “Tidak! Ayah bohong, aku tidak bermimpi, aku bertemu
dengannya dan aku tahu itu” aku langsung berlari ke kamar dan mengunci pintu.
“Ada apa Raiyan?” “Ayahku tidak mempercayaiku” “Sudah kubilang bukan kalo
ayahmu akan membunuhmu” “Apa maksudmu?” “Kau ingat bukan kejadian yang
menimpamu saat kau kecil, jadi aku disini akan melindungimu apapun caranya”
“Terimakasih Rama”. Itu adalah kata-kata terakhir Rama sebelum ayahku meninggal
karena dibunuh oleh seseorang.
Polisi menduga bahwa ayahku dibunuh oleh seorang
perampok. Ibuku hanya bisa menangis, lalu dia menghampiriku dan memelukku.
Sejak kejadian itu rumah terasa kosong, hampir setiap waktu ibuku menghabiskan
waktunya di kamar dan mengurung dirinya sendiri, pekerjaan rumah pun sudah digantikan
oleh pembantu. “Raiyan ada apa? Kau terlihat murung” “Sedang apa kau disini?
Bukannya kau harus kembali ke panti asuhan” “Tidak usah dipikirkan, aku sudah
memutuskan kabur dari panti asuhan, dan kehadiranku ada untukmu. Jadi, apa yang
terjadi?” “Ayahku mati dibunuh oleh pencuri” “Pencuri? Bukan pencuri yang
membunuhnya, aku yang membunuhnya” “APA? APA MAKSUDMU?” “Sudah jelas bukan,
untuk melindungimu” “Apa? Melindungiku dari apa? Aku tidak mengerti apa
tujuanmu, yang jelas sekarang aku membencimu dan jangan pernah datang kesini
lagi, AKU TIDAK MEMBUTUHKANMU LAGI!” “Baiklah aku mengerti, tapi kau harus
tahu, takdirmu adalah bersam…” tiba-tiba saja ibuku membuka pintu kamarku
“Raiyan, apa maksudmu? Dengan siapa kau bicara?” “Ibu! Rama adalah pembunuh…”
Aku berkata demikian sembari menunjuk posisi duduk Rama sebelumnya “Apa?!
Dimana rama? Tadi dia disini’ “Sudah cukup bercandanya! Aku sudah mendengarnya!
Kaulah yang membunuh dia!” Ibu mendorongku lalu mencekikku “I.. Ib.. Ibu aku
ti.. tidak.. membunuh ayah” “Jangan sebut dia ayah! Dasar kau anak sialan!” aku
membenturkan kepalaku ke kepala ibu lalu aku mendorongnya hingga tersungkur,
tiba-tiba saja Rama datang dan mengambil gunting yang letaknya di meja
belajarku, lalu dia menusuk ibuku berkali-kali dengan gunting yang ditangannya.
Darahnya mengalir di lantai, bajunya yang berwarna putih sudah berganti menjadi
merah. “Raiyan, ingat ini, takdirmu adalah takdirku dan takdirku adalah
takdirmu” itu yang Rama ucapkan sebelum dia pergi. Tiba-tiba saja pembantu
rumahku datang dengan dua orang polisi, melihatku yang sedang memegang gunting
dengan tangan berlumuran darah.