Fuyu ga Kirai
Oleh Andika N R
Oleh Andika N R
“Untuk Haru, lama kita tak bertukar kabar, meski
rindu dengan Indonesia. Aku suka dengan musim gugur di Tokyo, daun-daun
berguguran dan cuaca yang sejuk. Terakhir kita bertemu saat upacara Kelulusan
SD, sudah tiga tahun berlalu. Haru, kau masih ingat aku kan?” “Untuk Haru,
terimakasih sudah membalas suratku kukira kau sudah melupakanku. Hari ini Tokyo
sudah masuk musim dingin, ini sudah kesekian kalinya aku merasakan dinginnya
salju yang begitu halus. Ingin rasannya menikmati musim dingin ini bersamamu” Surat
yang dia buat mengingatkanku pada masa lalu yang kulalui dengan dia. Aku dan
Keiko punya banyak kesamaan. Setahun setelah dia pindah ke Indonesia, Keiko
masuk kelas yang sama denganku. Kita berdua memiliki hobi yang sama yaitu
membaca jadi kami lebih suka membaca bersama di kelas atau perpustakaan itu
sebabnya kami menjadi teman baik. Teman sekelas pun sering menggoda kami karena
kami sering menghabiskan waktu bersama, tapi kami tidak peduli akan hal itu
karena persahabatan kami. “Aku ingin masuk SMP yang sama denganmu dan bersamamu
selamanya” itu yang dia ucapkan ketika hari kelulusan sekolah kami sebelum dia
pindah ke Tokyo.
“Untuk Haru, dari surat yang kubaca kau berencana
untuk melanjutkan pendidikanmu di Tokyo. Senangnya, apa kau sudah bisa
berbahasa Jepang, aku harap belum karena aku ingin mengajari bahasa Jepang.
Kutunggu kau di Tokyo” Senang rasanya kehadiran ku dinantikan olehnya. Hari
ini, adalah hari pertama aku duduk di kelas satu SMA. Aku serius dengan apa
yang kukatakan bahwa aku ingin melanjutkan pendidikan di Tokyo, alasan utamaku
adalah untuk bertemu Keiko. “Haru” terdengar suara memanggil dari belakang. “Oh
Naoko, ada apa?” ucapku “Ayo pulang bersama” balasnya. Aku dan Naoko sudah
berteman sejak pertama kali di SMA, wajahnya yang mungil dan senyumnya yang
manis membuat dia terkenal di SMA. “Haru, apa kau memiliki kekasih?” ucapnya
“Hmm sepertinya tidak mungkin” balasku “lalu bagaimana jika ada seseorang yang
menyukaimu?” Naoko kembali bertanya. Aku hanya terdiam saat Naoko menanyakan
itu, seketika aku teringat dengan Keiko. Aku hanya bisa berharap bahwa orang
yang menyukaiku adalah Keiko. “Seperti aku misalnya” Naoko melanjutkan
pembicaraannya “Hmm maksudmu?” ucapku “Bukan apa-apa” balasnya.
“Rumahku sudah di depan, aku duluan ya” Naoko
berlari sambil melambaikan tangan kepadaku dan membuka gerbang rumahnya. Hari
berikutnya aku dan Naoko pulang bersama lagi, berbeda pada hari sebelumnya,
hari ini Naoko terlihat tidak semangat. Aku dan Naoko hampir tidak berbicara
sama sekali ketika pulang bersama. Esoknya aku mendapatkan kabar baik, ayahku
yang seorang pengusaha mendapat klien dari Tokyo, aku teringat Keiko dan
langsung membujuk ayahku agar dapat ikut bersama ayahku. “Untuk Haru, tanggal 5
maret nanti baik sekali kau mau datang ke tempatku, tetapi aku punya berita
buruk, yaitu aku sudah tidak tinggal di Tokyo, aku sudah pindah ke kota
Fukushima, kau bisa menaiki Shinkansen, tapi jauh jadi hati-hati ya. Aku sudah
tidak sabar ingin menemuimu. Kalo begitu kutunggu jam 3 di stasiun Fukushima”
Salju turun sejak pertama kali aku mendarat di
Tokyo. Aku dan Ayahku beserta rekan kerjanya bergegas pergi menuju hotel yang
sudah dipesan. Sebelum pergi ke Tokyo aku sudah mencari tahu cara menuju ke
tempat Keiko butuh 2 jam untuk sampai Fukushima dari Tokyo, tapi pada hari
pertemuanku dengan Keiko salju turun sangat lebat sejak pagi tadi, aku memutuskan
untuk pergi pada jam 12 siang, sempat ayahku melarang untuk pergi ke Fukushima
tetapi aku menghiraukannya. Sudah 5 jam aku di perjalanan, kereta mengalami
banyak keterlambatan dan penundaan dikarenakan hujan salju yang semakin lebat.
Aku tidak bisa bisa melakukan apa-apa. “Sudah jam 5, tak apa Keiko, kau boleh
meninggalkanku” ucap hatiku. Setelah 7 jam perjalanan akhirnya aku tiba di
stasiun Fukushima pada jam 7 malam, terlihat dari jauh seorang gadis sedang
duduk sekitar perapian, aku menghampirinya. “Keiko” dia menoleh ke arahku,
“HARU!” dia memelukku dengan erat sambil mengeluarkan air mata. Kami pergi ke
rumahnya dan mengobrol semalaman, disaat itu aku mengatakan cintaku kepada
Keiko “Aku juga mencentiamu sampai kapanpun” itu yang dia ucapkan, mungkin
malam itu adalah malam yang paling indah walau diselimuti dingin dan salju. Dua
hari kemudian aku kembali ke Indonesia. Berat rasanya melangkahkan kaki
meninggalkan Keiko, dia mengantar kepergianku di bandara.
Sudah dua tahun sejak kejadian itu, saat ini aku
sudah kelas tiga SMA, sebentar lagi aku menghadapi kelulusan. “Haru, bisa
bicara sebentar” ucap Naoko. “Kau ingat pertanyaanku saat kita kelas satu?
Sebenarnya aku.. menyukaimu semenjak pertama kali kita bertemu, apa kau mau
menjadi kekasihku?” “Haaa? Kau serius? Tapi aku sudah memiliki kekasih” ucapku
“Hahahaha tentu saja aku bercanda. Kalo begitu aku pulang duluan ya” Naoko
langsung berbalik dan jalan menuju rumahnya. Esoknya Naoko terlihat murung
dengan mata sembab. “Naoko apa kau baik-baik saja?” tanyaku “tidak apa-apa, aku
hanya kurang tidur saat malam” setelah menjawabku dia langsung pergi keluar
kelas, dia terlihat seperti menghindariku. Sejak saat itu aku tersadar bahwa
apa yang diucapkan Naoko bukanlah candaan, sudah terlambat untuk meminta maaf,
hari kelulusan sudah tiba dan Naoko tidak hadir dalam upacara kelulusan.
Temanku selalu bertanya “apa kau menulis email untuk
kekasihmu?” tetapi aku hanya bisa tersenyum dan tersadar sudah berapa lama aku hobi
menulis email tanpa tujuan pengirimnya. Aku sudah tidak dapat kabar lagi dari
Keiko. Setelah berhasil untuk masuk Universitas di Tokyo dan mencoba untuk
mencari kabar Keiko, tanpa sadar 2 tahun semenjak tinggal di Tokyo sudah
kulewati. Saat itu aku mendapat surat dari Keiko, yang kudapat adalah kabar
bahwa dia sudah bertunangan. Aku hanya menjalani hidup, tetapi kesedihan terus
menghampiri. “Aku juga mencintaimu sampaik kapanpun” itu yang dia ucapkan saat
pertemuaan kita di Fukushima. Tapi, meski kita telah bersama cukup lama,
mungkin hati kita hanya mendekat 5 cm. Makin hari hatiku makin sakit, sampai
suatu hari aku tersadar bahwa aku sudah tak berarti baginya. Kemarin aku
berimimpi tentang masa lalu, duduk bersama di teras rumahnya, diselimuti dingin
dan melihat salju berturunan. Di dalam mimpi itu kita masih 16 tahun, kita
berpikir tentang satu hal. Lain kali kita akan melihat salju bersama lagi, aku
dan dia, tanpa keraguan berpikir demikian.